Sabtu, 26 Mei 2012

DISKRSI BARANG DAN JASA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama pemerintah adalah upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pengadaan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. Pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya system pemerintahan. UUD 1945 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, yaitu membangun Negara kesejahteraan dan tanggung jawab pemerintah memenuhi kebutuhan warga Negara. Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang komplek. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. UUD 1945 merupakan konstitusi yang tertulis merupakan aturan-aturan dasar yang tertinggi dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 merupakan norma dasar yang tertinggi yang dijadikan dasar dalam pembuatan ketentuan perundang-undangan di bawahnya. UUD 1945 memuat : asas-asas hukum dan tujuan negara, serta aturan-aturan dasar mengenai kerangka pemerintahan, tugas pokok, wewenang dan hubungan-hubungan dalam garis-garis pokok atau sendi-sendi, hak-hak dasar warga negara, hubungan negara dengan warga negara/penduduk, arah dan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, perdebatan tentang penafsiran dimaksud sebenarnya akan lebih komprehensif bila dipahami sebagai persoalan yang berkisar mengenai sejauh manakah `diskresi' dapat digunakan. Diskresi dikatakan lebih mencakup di sini karena tidak hanya berkenaan dengan pembacaan atau penafsiran, melainkan jugs lanjut hingga penerapan dan penegakan hukum pada umumnya. Permasalahan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan, seringkali pemerintah dalam hal ini pejabat administrasi negara diberikan suatu kewenangan yang bebas. Kewenangan yang bebas tersebutlah yang disebut dengan Diskresi & kewenangan tersebut melekat pada kewenangan pejabat administrasi negara. ” Bagaimana penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ”. ? BAB II PEMBAHASAN Penggunaan Diskresi “Diskresi” pada dasarnya merupakan bagian dari Peraturan kebijaksanaan yakni peraturan yang digunakan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dikarenakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan modern pada saat ini adalah prinsip doelmatigheid yang berarti: Tujuan untuk kepentingan umum. Jadi dalam pelaksaannya terdapat penekanan pada “kegunaan” (doelstalling) dan “kebijaksanaannya” (belleids). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan, seringkali pemerintah dalam hal ini pejabat administrasi negara diberikan suatu kewenangan yang bebas. Kewenangan yang bebas tersebutlah yang disebut dengan Diskresi & kewenangan tersebut melekat pada kewenangan pejabat administrasi negara. Jadi dapat diambil pengertian bahwa diskresi adalah: ” Kewenangan pejabat administrasi negara yang dijalankan demi kepentingan masyarakat dan tidak melanggar azas pemerintahan yang bersih.” Diskresi tidak memiliki dasar hukum akan tetapi boleh dilakukan sepanjang kegunaannya adalah bagi kepentingan masyarakat. Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”  Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undanganl. Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).         Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kewenangan yang kebablasan sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I diatas. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan Prof. Muchsan, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.      Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu: Apabila terjadi kekosongan hukum; Adanya kebebasan interprestasi; Adanya delegasi perundang-undangan; Demi pemenuhan kepentingan umum. Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya Diskresi yaitu: Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya; Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum; Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.      Dalam Rancangan Undang-Undang Diskresi juga disebutkan poin-poin apa saja yang membatasi Diskresi berikut poin-poin tersebut: hak yang dimiliki seseorang pejabat yang memiliki kewenangan delegasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan seseorang pejabat, untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum, atau bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat, karena konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku belum jelas atau belum mengatur; Pembentukan Produk Hukum melalui Asas Diskresi      Untuk Membentuk suatu peraturan atau Produk Hukum melalui asas Diskresi harus dibentuk dengan cara sebagai berikut: Isi pengaturan dalam Keputusan Diskresi merupakan perbuatan hukum dari pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu: Asas kepastian hukum: Adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara. Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yang wajar terhadap pegawai. Asas kesamaan Asas bertindak cermat Asas motivasi Asas jangan mencampuradukkan kewenangan Asas permainan yang layak: Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil Asas keadilan atau kewajaran Asas menanggapi pengharapan yang wajar Asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal: Jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka pihak yang dirugikan harus diberi ganti rugi dan rehabilitasi. Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap Pegawai Negeri Sipil diberi kebebasan dan hak untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila Asas kebijaksanaan: Pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum Asas pelaksanaan kepentingan umum: Isi pengaturan perbuatan hukum diskresi meliputi: Kepastian hukum; Keseimbangan; Kecermatan/kehati-hatian; Ketajaman dalam menentukan sasaran; Kebijakan; Gotong royong. Menurut Prof. Muchsan, asas diskresi harus berlandaskan pada 2 (dua) hal: Landasan Yuridis. Kebijakan. Kebijakan disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas. Diskresi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Aspek Hukum Aspek hukum pengadaan barang dan jasa adalah ketentuan- ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. bidang hukum yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa adalah bidang hukum yang secara langsung dan tidak langsung mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Dalam pengadaan barang/jasa instansi pemerintah, terdapat 3 (tiga) bidang hukum yang secara langsung dan tidak langsung mengaturnya Bidang hukum tersebut adalah: Hukum Administrasi Negara (HAN)/Hukum Tata Usaha Negara Hukum administrasi negara mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna pada proses persiapan sampai dengan proses penerbitan surat penetapan penyedia barang dan jasa. Hukum Perdata Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang dan jasa sejak penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak pengadaan barang dan jasa. Hukum Pidana Hukum pidana mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna sejak tahap persiapan pengadaan sampai dengan selesainya kontrak pengadaan barang dan jasa. Hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang dan jasa yang terjadi pada proses persiapan pengadaan sampai dengan proses penerbitan surat penetapan penyedia barang dan jasa instansi pemerintah merupakan hubungan hukum administrasi negara (HAN) atau tata usaha negara. Dalam proses ini, pengguna barang/jasa instansi pemerintah (Kepala kantor/satuan kerja/pimpro/pimbapro/pejabat yang disamakan dengan pimpro) bertindak sebagai pejabat negara bukan mewakili negara sebagai individu/pribadi. Semua keputusan yang dikeluarkan pada proses ini merupakan keputusan pejabat negara atau publik. Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan yang dipraktekkan secara internasional efisiensi, efektifitas, persaingan sehat, keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminasi, dan akuntabilitas. (Pasal, 3 Keppres No 80 Taun 2003) Efisiensi Yang dimaksud dengan prinsip efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa adalah dengan menggunakan sumber daya yang tersedia diperoleh barang dan jasa dalam jumlah, kualitas yang diharapkan, dan diperoleh dalam waktu yang optimal. Efektif Yang dimaksud dengan prinsip efektif dalam pengadaan barang dan jasa adalah dengan sumber daya yang tersedia diperoleh barang dan jasa yang mempunyai nilai manfaat setinggi-tingginya. Persaingan Sehat Yang dimaksud dengan prinsip persaingan yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa adalah adanya persaingan antar calon penyedia barang dan jasa berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku, tidak terjadi kecurangan dan praktek KKN. Terbuka Yang dimaksud dengan prinsip terbuka dalam pengadaan barang dan jasa adalah memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa yang kompeten untuk mengikuti pengadaan. Transparansi Yang dimaksud dengan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa adalah pemberian informasi yang lengkap tentang aturan main pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada semua calon penyedia barang dan jasa yang berminat dan masyarakat. Tidak Diskriminatif Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif dalam pengadaan barang dan jasa adalah pemberian perlakuan yang sama kepada semua calon penyedia barang dan jasa berminat mengikuti pengadaan barang dan jasa. Akuntabilitas Yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa adalah pertanggungjawaban pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan Yuridis Dalam Juknis Keppres No. 18 tahun 2000, pengadaan barang/jasa instansi pemerintah ditentukan dipilih dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) calon penyelia barang. Dalam pengadaan barang metode yang umum digunakan adalah, metode lelang atau metode pelelangan umum, pemilihan langsung penjunkan langsung atau pembelian langsung. Metode Lelang Metode lelang atau pelelangan umum dalam pengadaan barang adalah pengadaaan yang diumumkan secara luas dan terbuka dengan berbagai cara atau melalui berbagaai media yang dinilia efektif, untuk diketahui oleh masyarakat khususnya penyedia barang atau para pemasok. Metode Pemilihan langsung Metoda pemilihan langsung dalam pengadaan barang adalah cara memilih calon penyedia barang dari beberapa calon penyedia baranng jasa dari daftar rekanan yang telah ada yang dinilai mampu. Metode Penunjukkan Langsung Metode penunjukkan langsung dalam pengadaan barang adalah pengadaan yang dilakukan dengan menunjuk langsung kepada penyedia barang yang ditunjuk. Metode Pembelian Langsung Metode pembelian langsung dalam pengadaan barang, yaitu pembelian barang yang dilakukan secara langsung kepada penjual barang. Pengadaan barang dengan metode ini dalam Keppres No 80 Tahun 2003, tidak diatur. Menurut Prof. Mucsan persaratan pengadaan barang dan jasa meliputi : Lelang terbuka yaitu : seluruh daftar rekanan mampu (DRM) boleh mengikuti lelang baik lokal maupun regional dan harus diumumkan melalui media secara terbuka Lelang tertutup yaitu : yang boleh mengikuti lelang hanya terbatas pada daftar rekanan mampu (DRM) lokal saja Pengadaan langsung yaitu : pimpinan proyek menunjuk langsung lima rekanan mampu lokal dalam pengadaan Penunjukan langsung yaitu : pimpinan proyek menunjuk langsung satu rekanan mampu dalam pengdaaan barang dan jasa Pengadaan barang dan jasa dari pimpinn proyek dengan surat perintah kerja dan bila penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi dapat dilakukan gugatan ke PTUN Berdasarkan Pasal 6, Keppres No. 8o Tahun 2000, pengadaan barang dilakukan dengan 3 metode, yaitu: Pelelangan Pemilihan langsung Penunjukkan langsung Menurut Prof. Muchsan terdapat empat syarat dalam dalam pembiayaan pengadaan barang dan jasa, yaitu ; Penunjukan langsung barang dan jasa maksimal Rp. 100.000.000,- Pengadaan, Rp. 100.000.000,- sampai Rp.500.000.000,- Lelang Tertutup Rp. 500.000.000,- sampai Rp. 1 milliar Lelang Terbuka Rp. 1 Milliar lebih. Sumber pembiayaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah berasal dari dana APBN untuk pengadaan yang dilakukan oleh instansi pemerintah pusat, APBD untuk pengadaan yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan anggaran BUMN+APBN untuk pengadaan yang dilakukan oleh BUMN atau anggaran BUMD+APBD untuk pengadaaan yang dilakukan oleh BUMD. Sumber dana tersebut di atas berasal dari pendapatan dalam negeri (rupiah murni) dan atau pinjaman/hibah luar negeri. Penggunaan dana APBN untuk pengadaaan barang dan jasa diatur melalui Keppres No. 17 Tahun 2000 dan Keppres No. 18 Tahun 2000, Keppres No 80 Tahun 2003. Penggunaan dana APBD untuk pengadaan dan jasa diatur melalu Perda berdasarkan PP No. 105 tahun 2000 pasal 14 dengan mengacu pada peraturan perudang-undangan di atasnya. Penggunaan dana BUMN, BUMD untuk pengadaan barang dan jasa diatur melalui PP No. 12 dan 13 tahun 1996. Pengadaan barang dan jasa dengan dana pinjaman / hibah luar negeri menggunakan ketentuan yang tercantum dalam masing-masing naskah pinjaman/hibah luar negeri. BAB III KESIMPULAN Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu; adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan. Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya. Pemerintah yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. DAFTAR PUSTAKA Adrianto, Prinsip Dasar Kebijakan & Kerangka Hukum Pengadaan Barang & Jasa Publik, rianadrianto.wordpress.com, 1 Jun 2008 Erlyn Indarti, 2010, Diskresi Dan Paradigma Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Disampaikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Filsafat Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Juanda, Diskresi Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, Jakarta. Makalah Kassa A. Karman, 2010, Penggunaan Asas Diskresi dalam Pembuatan Produk Hukum, justkazz.blogspot.com /2010/02/ Muchsan, 2012, Kuliah Sistem Penyediaan Sarana dan Tenga Kesehatan, FH UGM, Yogyakarta. Resma, Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan, http://resmabintanigustaliza.blogspot.com, Kamis, 11 November 2010 Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa