Selasa, 23 Juli 2013

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH
MENURUT KEPPRES NOMER 55 TAHUN 1993
Oleh : Agus Sarwo Prayogi


A.    LATAR BELAKANG
Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di berbagai bidang yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang dimilikinya diambil oleh pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut. Pengambilan tanah-tanah masyarakat dimaksud harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasan/pengadaan tanah telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA No. 5 Tahun 1960.
Konsekuensi baik yuridis maupun non yuridis yang harus dihadapi oleh pemerintah sebagai pelaksana kegiatan pengadaan tanah ketidakmampuan operasional/implementatif kaidah hukum, resistensi masyarakat yang tinggi atas keberlakuannya, mandegnya proyek pembangunan yang telahdi rencanakan. Mengacu pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat dinyatakan bahwa: “ bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk  sebesar-besar kemakmuran rakyat ”.
Untaian kata ini mengandung makna bahwa di dalamnya memberikan kewenangan pada pemerintah untuk memanage sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diabdikan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Pada tanggal 17 juni 1993 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksana Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kehadiran peraturan baru ini disambut oleh banyak pihak dengan aneka macam komentar.  
Banyaknya protes masyarakat terhadap praktek pembebasan tanah ini dan juga ada kelemahan dari segi yuridisnya, maka pengaturan mengenai pembebasan tanah direvisi dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993. Dalam aturan ini tidak disebut pencabutan hak, tetapi pengadaan tanah yang dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar dan cara yang disepakati.
Selanjutnya, Keputusan Presiden tersebut juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga Pemerintah kembali melakukan peninjauan kembali atas pengaturan pengadaan tanah
Ada 3 hal yang menyebabkan kehadiran  peraturan ini menjadi menarik, yaitu:
1.      Persoalan tentang tanah dalam pembangunan adalah persoalan yang menarik dan sekaligus unik mengingat pembangunan nasional sangat membutuhkan tanah, tetapi kebutuhan tersebut tidak terlalu mudah untuk dipenuhi. Hal yang demikian sudah disadari oleh semua pihak dan dalam konteks dengan peraturan baru ini tampak dengan jelas dari kesadaran.
2.      Peraturan hukum tentang bangaimana seharusnya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebelum ditetapkan peraturan ini sangat beragam keadaannya. Walau undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Agraria yang lebih kita kenal UUPA sebagai induk dari segenap peraturan-peraturan di negara ini, sebenarnya sudah ada arahan mengenai hal ini yang secara eksplisit diatur dalam pasal 18 UUPA mengenai “Pencabutan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum” dengan peraturan pelaksanaannya didalam Undana-undang Nomor 20 Tahun 1991 (LN 1991 No. 288) tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Namun peraturannya dalam praktek hampir tidak pernah dilaksanakan sama sekali, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan praktek ditetapkan berbagai peraturan tentang kebebasan tanah antara lain diatur dalam:
a.       Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1975, Tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara Kembebasan Tanah.
b.      Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1976, tentang Penggunaan cara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan Tanah oleh pihak Swasta.
c.       Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1985, tentang Tata cara Menggadakan tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan wilayah Kecamatan.
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat antara pemegang hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara.


B.     PEMBAHASAN
1.      Keunggulan Keppres No. 55 Tahun 1993
Dalam dictum pertimbangan mengenai Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa:
Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu  pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan pengadaantanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupanmanusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian, atas dasar pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat  pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.
Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya. Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan hak tersebut dilakukan oleh hukum pelepasan hak atas tanah diatur dalam Pasal 27, 34 dan 40 UUPA dan tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ( Perpres 36/2005). Perpres No.36 Tahun 2005 merupakan pengganti Keppres No.55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Maria Sumardjono memandang Keppres No. 55 Tahun 1993 ini dibuat dengan maksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap ekses-ekses pembebasan tanah yang selama ini terjadi.

Dalam pembebasan tanah pemerintah harus memperhatikan unsure-unsur :
a.       Untuk kepentingan umum.
b.      Ganti rugi berdasarkan harga nyata atau harga sebenarnya atau minimal berdasarkan NJOP.
c.       Larangan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik sebenarnya menurut undang-undang No. 56 PERPU 1961.
d.      Dikaitkan dengan undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang.
e.       Dikaitkan dengan undang-undang No. 20 tahun 1961 tentang pencabutah hak atas tanah ( apabila menemukan jalan buntu minta banding kepengadilan tinggi).
Keunggulan Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut dinyatakan juga dalam konsideran yaitu :
a.       Bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya.
b.      Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak­hak yang sah atas tanah.
c.       Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
2.      Kelemahan Keppres No. 55 Tahun 1993
Tidak disebutkan bagaiman cara pembebasan tanah. Pembebasan atau pengadaan tanah menurut keppres No. 55 tahun 1993 adalah pelepasan hak atau penyerahan hak. Dengan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, maka PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, dan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tidak hanya peraturan yang diubah oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, tetapi istilah yang dipergunakan pun turut diubah. Istilah “Pembebasan Tanah” yang dikenal dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 diganti dengan istilah “Pengadaan Tanah” oleh Keppres tersebut, walaupun sesungguhnya terminologi “Pengadaan Tanah” telah dikenal sebelumnya lewat PMDN No. 2 Tahun 1985, hanya saja di dalam PMDN ini tidak diberikan rumusan apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah tersebut. Definisi pengadaan tanah kemudian diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, bahwa pengadaan tanah ialah “Setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut”.63
Supaya Keppres No. 55 Tahun 1993 dapat dioperasionalkan, maka Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Agraria/ Kapala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 sebagai peraturan tehnis pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993.
Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dapat lagi dipakai sebagai pijakan hukum yang memadai untuk melakukan akselerasi atau percepatan dan kelancaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum disamping sejumlah kelemahan yang dimilikinya, diantaranya tentang list provition atau daftar kegiatan yang mengatur kepentingan umum demikian luasnya, kemudian kehadiran lembaga konsinyasi yang di dalam implementasinya menyimpang dari maksud dan tujuan lembaga tersebut. Akhirnya oleh Presiden diterbitkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam praktek pelaksanaan Pembebasn Tanah, baik yang menyangkut Pengadaan tanah bagi  kepentingan pembangunan, untuk kepentingan umum maupun pembebasan tanah untuk kepentingan swasta selalu  menimbulkan keributan dan masalah. Sehingga banyak yang mempersoalkan apakah hal ini terjadi disebabkan kekurangberesan peraturan ataukah karena ketidaksiapan aparat atau hanya sebuah akses yang memang lumrah terjadi. Tetapi adapun alasannya yang diumumnya dirugikan oleh keadaan tersebut adalah rakyat, sehingga perlu diadakan usaha perbaikan yag sudah dimulai dengan pembenahan kelembagaan dan sekaligus dengan penertidan personel sekarang disusul dengan penyempurnaan perturan.
Dalam Peraturan ini dimungkinkan pencabutan hak atas tanah selain penyerahan dan pelepasan. Adanya ketentuan mengenai kemungkinan pelaksanaan pencabutan hak inilah yang mendapat respon negatif dari masyarakat.


C.    SIMPULAN
Simpulan yang dapat diambil dari Keppres No. 55 Tahun 1993 bahwa persoalan pembebasan atas  tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum hanyalah berakar pada pengalokasian anggaran untuk pembayaran ganti rugi kepada subyek eks pemegang hak atas tanah. Tak pernah terfikirkan  bagaimana implikasi sosial-ekonomi-budaya perubahan hidup eks pemegang hak atas tanah sesudah tanahnya diambil oleh pemerintah. Bagaimana akibat dari pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan terhadap petani yang kehilangan tanahnya harus berubah menjadi non petani: buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak  pernah terbayangkan olehnya. Apakah tidak atau sengaja mengabaikan kalkulasi kerugian akibat pembebasan tanah terhadap perubahan tata guna lahan yang semula sawah beririgasi tehnis yang dahulu dibiayai dengan hutang luar negeri menjadi peruntukan lain misalnya bendungan pengairan, prasaran/sarana jaringan transportasi darat. Berapa biaya yang harus di keluarkan oleh pemerintah untuk melakukan perubahan peta tata ruang nasional/provinsi/kabupaten/kota sebagai akibat dari pembebasan tanah atau sebaliknya.
Dalam acara melepaskan hak, maka selain harus ada bukti, bahwa yang melepaskan adalah pemegang haknya, juga perlu diteliti apakah pemegang hak tersebut berwenang untuk melepaskan hak yang bersangkutan.
Sulitnya pelaksanaan pencabutan hak tersebut dan ramainya protes dari berbagai kalangan, ketentuan yang menyangkut pencabutan hak ini termasuk yang direvisi artinya pencabutan hak bukan lagi sebagai salah satu cara untuk untuk pengadaan tanah


DAFTAR PUSTAKA

Sekarmadji. Agus, 2010,  Perolehan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembangunan Perumahan, Desertasi, Fakultas Hukum Unair.

Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasinya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Kepala BPN No. 4  Tahun 1991, tentang Konsolidasi Tanah
Hutagalung, Aries, Pelepasan Penyelesaian, Dan Kesepakatan Dalam Konsolidasi Tanah Bagi Pembangunan Rumah Susun Ditinjau Dari Hukum Perdata,  Disampaikan pada Rapat Koordinasi Konsolidasi Tanah Vertikal yang diselenggarakan Oleh BPN Pada 18 Desember 2007

Nuroel Izzatie,  Pengadaan tanah untuk pelaksana pembangunan Untuk kepentingan umum, tjoetnyakkkkk.blogspot.com Senin, 23 Maret 2012


Jamilah.Lina,  Kebijakan Pemerintah Dalam Penatagunaan Tanah, hktanahlinajamilah.blogspot.com/2010/05/konsolidasi-tanah.html,
Senin, 23 Maret 2012