Jumat, 30 Agustus 2013

ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN



DISHARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

(ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN)

Oleh :
Agus Sarwo Prayogi

Pendahuluan
Pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam upaya peningkatan kualitas individu serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) organisasi. Pendidikan adalah media peningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap mental dan kepribadian yang akan mendasari kompetensi seseorang. Bagi kepentingan organisasi, pendidikan dapat dimanfaatkan untuk menanggalkan persoalan yang terkait dengan defisiensi kinerja yaitu suatu kondisi dimana SDM yang tersedia tidak mampu lagi menunjukkan prestasi kerja pada level yang diharapkan.
Amanat Undang-undang Dasar NRI pasal 31 amandemen ke IV sudah jelas mennyatakan
(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)   Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Peranan pendidikan dalam kehidupan sangat penting. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Permasalahan
Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Polemik PP Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik pendidikan kedinasan yang ada. Wawan menambahkan, polemik PP Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik pendidikan kedinasan yang ada. (Berita Kompas Kamis, 4 Februari 2010)


Disharmonisasi yang terjadi
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 menyatakan :
“Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai negeri dan calon pegawai negeri pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK dalam                                                                                      pelaksanaan tugas di lingkungan kerjanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.”



Pasal 29: UU Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sisdiknas
(1)   Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(2)   Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(3)   Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan non formal.
(4)   Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 17 UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(1)   Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
(2)   Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi

Pasal 7 ayat  (4) UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan “Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.” Kementerian Agamag juga membawahi isu sensitif, yakni agama. Namun pada kenyataanya, ada penyimpangan dalam pendidikan tinggi yang dikelola Kemenag, yakni di UIN Syarif Hidayatullah yang tidak hanya membuka bidang studi keagamaan. namun juga program studi kedokteran, psikologi atau ekonomi, layaknya pendidikan tinggi umum lainnya
 Kenyataan saat ini, dapat dilihat dari tiga peraturan perundang-undang terdapat disharmonisasi yang nyata dimana pendidikan kedinasan lebih banyak diselenggarakan pada Program Strata Satu (S-1), Program Diploma (D-I, D-II, D-III dan D-IV) dan pendidikan tingkat dibawahnya.Untuk itu, agar pengertian pendidikan kedinasan dapat mengakomodir seluruh tingkatan pendidikan yang memang masih diperlukan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian.
Kesimpulan
Perguruan tinggi sebagai salah satu instrumen pendidikan nasional diharapkan dapat menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah yang dapat meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), penyelenggara pendidikan tinggi nasional yang berlaku di Indonesia dilakukan oleh pemerintah melalui Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), Perguruan Tinggi Agama (PTA), maupun swasta melalui Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang.

Sunber :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, Tanggal 31 Maret 2010, telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke- IV
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sisdiknas
Undang-undang Republik Indonesia RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan
Berita Kompas Kamis, 4 Februari 2010

Selasa, 23 Juli 2013

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH
MENURUT KEPPRES NOMER 55 TAHUN 1993
Oleh : Agus Sarwo Prayogi


A.    LATAR BELAKANG
Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di berbagai bidang yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang dimilikinya diambil oleh pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut. Pengambilan tanah-tanah masyarakat dimaksud harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasan/pengadaan tanah telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA No. 5 Tahun 1960.
Konsekuensi baik yuridis maupun non yuridis yang harus dihadapi oleh pemerintah sebagai pelaksana kegiatan pengadaan tanah ketidakmampuan operasional/implementatif kaidah hukum, resistensi masyarakat yang tinggi atas keberlakuannya, mandegnya proyek pembangunan yang telahdi rencanakan. Mengacu pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat dinyatakan bahwa: “ bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk  sebesar-besar kemakmuran rakyat ”.
Untaian kata ini mengandung makna bahwa di dalamnya memberikan kewenangan pada pemerintah untuk memanage sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diabdikan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Pada tanggal 17 juni 1993 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksana Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kehadiran peraturan baru ini disambut oleh banyak pihak dengan aneka macam komentar.  
Banyaknya protes masyarakat terhadap praktek pembebasan tanah ini dan juga ada kelemahan dari segi yuridisnya, maka pengaturan mengenai pembebasan tanah direvisi dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993. Dalam aturan ini tidak disebut pencabutan hak, tetapi pengadaan tanah yang dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar dan cara yang disepakati.
Selanjutnya, Keputusan Presiden tersebut juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga Pemerintah kembali melakukan peninjauan kembali atas pengaturan pengadaan tanah
Ada 3 hal yang menyebabkan kehadiran  peraturan ini menjadi menarik, yaitu:
1.      Persoalan tentang tanah dalam pembangunan adalah persoalan yang menarik dan sekaligus unik mengingat pembangunan nasional sangat membutuhkan tanah, tetapi kebutuhan tersebut tidak terlalu mudah untuk dipenuhi. Hal yang demikian sudah disadari oleh semua pihak dan dalam konteks dengan peraturan baru ini tampak dengan jelas dari kesadaran.
2.      Peraturan hukum tentang bangaimana seharusnya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebelum ditetapkan peraturan ini sangat beragam keadaannya. Walau undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Agraria yang lebih kita kenal UUPA sebagai induk dari segenap peraturan-peraturan di negara ini, sebenarnya sudah ada arahan mengenai hal ini yang secara eksplisit diatur dalam pasal 18 UUPA mengenai “Pencabutan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum” dengan peraturan pelaksanaannya didalam Undana-undang Nomor 20 Tahun 1991 (LN 1991 No. 288) tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Namun peraturannya dalam praktek hampir tidak pernah dilaksanakan sama sekali, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan praktek ditetapkan berbagai peraturan tentang kebebasan tanah antara lain diatur dalam:
a.       Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1975, Tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara Kembebasan Tanah.
b.      Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1976, tentang Penggunaan cara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan Tanah oleh pihak Swasta.
c.       Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1985, tentang Tata cara Menggadakan tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan wilayah Kecamatan.
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat antara pemegang hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara.


B.     PEMBAHASAN
1.      Keunggulan Keppres No. 55 Tahun 1993
Dalam dictum pertimbangan mengenai Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa:
Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu  pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan pengadaantanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupanmanusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian, atas dasar pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat  pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.
Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya. Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan hak tersebut dilakukan oleh hukum pelepasan hak atas tanah diatur dalam Pasal 27, 34 dan 40 UUPA dan tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ( Perpres 36/2005). Perpres No.36 Tahun 2005 merupakan pengganti Keppres No.55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Maria Sumardjono memandang Keppres No. 55 Tahun 1993 ini dibuat dengan maksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap ekses-ekses pembebasan tanah yang selama ini terjadi.

Dalam pembebasan tanah pemerintah harus memperhatikan unsure-unsur :
a.       Untuk kepentingan umum.
b.      Ganti rugi berdasarkan harga nyata atau harga sebenarnya atau minimal berdasarkan NJOP.
c.       Larangan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik sebenarnya menurut undang-undang No. 56 PERPU 1961.
d.      Dikaitkan dengan undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang.
e.       Dikaitkan dengan undang-undang No. 20 tahun 1961 tentang pencabutah hak atas tanah ( apabila menemukan jalan buntu minta banding kepengadilan tinggi).
Keunggulan Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut dinyatakan juga dalam konsideran yaitu :
a.       Bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya.
b.      Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak­hak yang sah atas tanah.
c.       Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
2.      Kelemahan Keppres No. 55 Tahun 1993
Tidak disebutkan bagaiman cara pembebasan tanah. Pembebasan atau pengadaan tanah menurut keppres No. 55 tahun 1993 adalah pelepasan hak atau penyerahan hak. Dengan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, maka PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, dan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tidak hanya peraturan yang diubah oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, tetapi istilah yang dipergunakan pun turut diubah. Istilah “Pembebasan Tanah” yang dikenal dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 diganti dengan istilah “Pengadaan Tanah” oleh Keppres tersebut, walaupun sesungguhnya terminologi “Pengadaan Tanah” telah dikenal sebelumnya lewat PMDN No. 2 Tahun 1985, hanya saja di dalam PMDN ini tidak diberikan rumusan apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah tersebut. Definisi pengadaan tanah kemudian diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, bahwa pengadaan tanah ialah “Setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut”.63
Supaya Keppres No. 55 Tahun 1993 dapat dioperasionalkan, maka Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Agraria/ Kapala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 sebagai peraturan tehnis pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993.
Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dapat lagi dipakai sebagai pijakan hukum yang memadai untuk melakukan akselerasi atau percepatan dan kelancaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum disamping sejumlah kelemahan yang dimilikinya, diantaranya tentang list provition atau daftar kegiatan yang mengatur kepentingan umum demikian luasnya, kemudian kehadiran lembaga konsinyasi yang di dalam implementasinya menyimpang dari maksud dan tujuan lembaga tersebut. Akhirnya oleh Presiden diterbitkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam praktek pelaksanaan Pembebasn Tanah, baik yang menyangkut Pengadaan tanah bagi  kepentingan pembangunan, untuk kepentingan umum maupun pembebasan tanah untuk kepentingan swasta selalu  menimbulkan keributan dan masalah. Sehingga banyak yang mempersoalkan apakah hal ini terjadi disebabkan kekurangberesan peraturan ataukah karena ketidaksiapan aparat atau hanya sebuah akses yang memang lumrah terjadi. Tetapi adapun alasannya yang diumumnya dirugikan oleh keadaan tersebut adalah rakyat, sehingga perlu diadakan usaha perbaikan yag sudah dimulai dengan pembenahan kelembagaan dan sekaligus dengan penertidan personel sekarang disusul dengan penyempurnaan perturan.
Dalam Peraturan ini dimungkinkan pencabutan hak atas tanah selain penyerahan dan pelepasan. Adanya ketentuan mengenai kemungkinan pelaksanaan pencabutan hak inilah yang mendapat respon negatif dari masyarakat.


C.    SIMPULAN
Simpulan yang dapat diambil dari Keppres No. 55 Tahun 1993 bahwa persoalan pembebasan atas  tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum hanyalah berakar pada pengalokasian anggaran untuk pembayaran ganti rugi kepada subyek eks pemegang hak atas tanah. Tak pernah terfikirkan  bagaimana implikasi sosial-ekonomi-budaya perubahan hidup eks pemegang hak atas tanah sesudah tanahnya diambil oleh pemerintah. Bagaimana akibat dari pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan terhadap petani yang kehilangan tanahnya harus berubah menjadi non petani: buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak  pernah terbayangkan olehnya. Apakah tidak atau sengaja mengabaikan kalkulasi kerugian akibat pembebasan tanah terhadap perubahan tata guna lahan yang semula sawah beririgasi tehnis yang dahulu dibiayai dengan hutang luar negeri menjadi peruntukan lain misalnya bendungan pengairan, prasaran/sarana jaringan transportasi darat. Berapa biaya yang harus di keluarkan oleh pemerintah untuk melakukan perubahan peta tata ruang nasional/provinsi/kabupaten/kota sebagai akibat dari pembebasan tanah atau sebaliknya.
Dalam acara melepaskan hak, maka selain harus ada bukti, bahwa yang melepaskan adalah pemegang haknya, juga perlu diteliti apakah pemegang hak tersebut berwenang untuk melepaskan hak yang bersangkutan.
Sulitnya pelaksanaan pencabutan hak tersebut dan ramainya protes dari berbagai kalangan, ketentuan yang menyangkut pencabutan hak ini termasuk yang direvisi artinya pencabutan hak bukan lagi sebagai salah satu cara untuk untuk pengadaan tanah


DAFTAR PUSTAKA

Sekarmadji. Agus, 2010,  Perolehan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembangunan Perumahan, Desertasi, Fakultas Hukum Unair.

Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasinya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Kepala BPN No. 4  Tahun 1991, tentang Konsolidasi Tanah
Hutagalung, Aries, Pelepasan Penyelesaian, Dan Kesepakatan Dalam Konsolidasi Tanah Bagi Pembangunan Rumah Susun Ditinjau Dari Hukum Perdata,  Disampaikan pada Rapat Koordinasi Konsolidasi Tanah Vertikal yang diselenggarakan Oleh BPN Pada 18 Desember 2007

Nuroel Izzatie,  Pengadaan tanah untuk pelaksana pembangunan Untuk kepentingan umum, tjoetnyakkkkk.blogspot.com Senin, 23 Maret 2012


Jamilah.Lina,  Kebijakan Pemerintah Dalam Penatagunaan Tanah, hktanahlinajamilah.blogspot.com/2010/05/konsolidasi-tanah.html,
Senin, 23 Maret 2012



Sabtu, 06 April 2013

HUBUNGAN DIPLOMATIK DAN SUAKA POLI TIK INDONESIA


Oleh : Agus sarwo Prayogi

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Dalam tatanan kehidupan dunia, tidak ada satu negara pun yang dapat mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Jalinan kerja sama dan membuka hubungan diplomatik dengan negara lain sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan mulai dari ekspor impor produksi dan rasa ketergantungan lainnya.  
Beberapa tahun yang lalu lima orang pemuda Timor Timur masuk ke kantor Kedutaan Besar asing di Jakarta untuk minta suaka. Mereka mengaku sebagai clendestein (suatu gerakan bawah tanah) anti integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI, yang merasa terancam keselamatannya. Sementara itu pemerintah RI menyatakan, bahwa kelima pemuda Timor Timur tersebut bukan clendestein, melainkan anggota Gerakan Pengacau Keamanan  (GPK), sehingga mereka dianggap bukan sebagai political refugee (pelarian politik), tetapi sebagai pelaku tindak pidana biasa yang tak patut diberi suaka.  
Kasus ini, sama halnya dengan kasus-kasus permintaan suaka pada umumnya, misalnya kasus permintaan suaka para pembelot Korea Utara ke Kedutaan Besar Korea Selatan di Luar Negeri, atau permintaan suaka para pembangkang China ke Kedutaan Besar Taiwan di mancanegara, tentu sajamenjadikan politik sebagai aspek penting. Namun disamping itu, persoalan penting yang juga muncul adalah persoalan hukum internasional. Persoalan ini khususnya berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai suaka.
Meskipun pencarian dan pemberian suaka secara umum sudah dipraktikkan oleh negara-negara dalam jangka waktu yang cukup lama, isu ini tetap mengalami dinamika, baik dalam praktik maupun dalam diskursus hukum internasional. Masalah suaka seringkali dianggap merupakan persoalan politik semata, padahal persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan hukum, khususnya hukum internasional. Suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan kepada orang yang meminta perlindungan di wilayah perwakilan diplomatik negara asing. Masalah yang sering muncul dalam kaitan ini adalah apakah orang-orang  yang minta suaka di wilayah perwakilan asing/di kantor Kedutaan Besar asing tersebut dapat diberikan suaka ataukah tidak


BAB II
SUAKA POLITIK
A. PENGERTIAN :
Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya.
 Suaka politik merupakan gagasan yuridiksi di mana seseorang yang dianiaya untuk opini politik di negerinya sendiri dapat dilindungi oleh pemerintah berdaulat lain, negara asing, atau perlindungan gereja di Abad Pertengahan. Suaka politik merupakan salah satu hak asasi manusia, dan aturan hukum internasional. Seluruh negara yang menerima Konvensi Terkait Status Pengungsi PBB wajib mengizinkan orang yang benar-benar berkualifikasi datang ke negerinya. 
Orang-orang yang memenuhi syarat-syarat suaka politik adalah mereka yang diperlakukan buruk di negerinya karena masalah : 
1. Ras
3. Agama
4. Opini politik
5. Keanggotaan kelompok atau aktivitas sosial tertentu.
Orang-orang yang diberikan suaka politik disebut pengungsi. Mereka sering dikelirukan dengan "pengungsi ekonomi", yang merupakan orang-orang yang pindah dari suatu negara miskin ke negara kaya agar dapat bekerja dan menerima uang yang dapat dikirimkan pada keluarga mereka di negeri asal. Pengungsi ekonomi sering menjadi sasaran empuk bagi sejumlah politikus dan media massa yang mengatakan bahwa para pengungsi tersebut merebut pekerjaan dari penduduk negeri setempat.
Terhadap masalah suaka politik antara pengusiran dan pengasingan penjahat perlu dibedakan antara penjahat dari penduduk negeri. Perlu diketahui bahwa secara historis, istilah suaka (asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negara-negara Amerika Latin sehingga kebiasaan-kebiasaan ini dapat digolongan pada kebiasaan internasional regional yakni kebiasaan internasional yang berasal dari daerah tertentu atau kawasan tertentu dalam hal ini yakni negara-negara Amerika Latin. Suaka berasal dari bahasa Yunani yakni “asylon” atau “asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Masalah permintaan suaka ini dan pemberian suaka bukanlah muncul pada beberapa tahun ini saja. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.
Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, di mana berbagai pakar hukum internasional Belanda yang terkenal Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami penuntutan (presecution) politis atau keagamaan. Sejak abad pertengahan ke-19 sebagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara.
B. TERMINOLOGI SUAKA POLITIK
Secara terminologi suaka politik adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.
Masalah suaka terdapat kaitannya dengan masalah ekstradisi, dan deportasi. Kebebasan suatu negara untuk memberikan suaka kepada seseorang sampai batas tertentu saling tumpang tindih dengan kekuasaan untuk menolak ekstradisi dan penyerahan orang itu atas permintaan negara lain, dan saling tumpang tindih itu terlihat sekali dalam pemberian suaka kepada tokoh-tokoh politik, yang menurut ketentuannya tidak dapat diekstradisikan
Konsepsi suaka (asylum) dalam hukum internasional meliputi dua unsur:
1. Tempat perlindungan (shelter), yang lebih dari pengungsian sementara semata-mata.
2. Suatu tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah tempat suaka.
Oleh karena itu, dalam konteks perkembangan hukum internasional, suaka dapat merupakan suaka wilayah (territorial asylum), yaitu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di wilayahnya. Sebagai contoh, Indonesia memberi suaka politik kepada orang asing yang masuk ke Indonesia. Sedangkan suaka ekstra-teritorial (diplomatic asylum), yaitu suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar kepada orang yang bukan warga negaranya. Contoh suaka ini adalah orang asing yang memasuki wilyah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri, atau Warga Negara Indenesia yang masuk kedutaan asing di Jakarta. 
Perbedaan prinsip antara kedua jenis ini mengalir dari fakta bahwa kekuasaan untuk memberikan suaka teritorial merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri. Contoh suaka wilayah, ada banyak dan kelompok-kelompok pengungsi politik terdapat di banyak negara; tetapi, karena mereka bertempat tinggal di negeri lain, mereka tidak merupakan suatu ancaman besar bagi pemerintahannya sendiri.
Suatu situasi timbul dalam hal suaka diplomatik, di mana lawan politik dapat bertempat tinggal yang terlindung dan tidak dapat diganggu di tengah-tengah rakyatnya, dan dapat diharapkan, rakyat itu hendak diadu melawan pemerintahannya sendiri. Tidak dapat digangu gugatnya kompleks misi diplomatik menyebabkan misi demikan semenjak dahulu dicari sebagai tempat perlindungan.
Suaka politik jenis pertama mendapat jaminan dalam hukum internasional. Setiap warga negara berhak memberikan perlindungan politik kepada warga negara asing. Negara asal pencari suaka tersebut hanya dapat mengajukan permohonan pengembalian atau ekstradisi melalui saluran-saluran diplomatik. Sedangkan terhadap suaka politik jenis kedua (diplomatic asylum), hukum internasional tidak mengakui adanya hak kepala perwakilan suatu negara (duta besar) untuk memberi jaminan keamanan terhadap orang asing di gedung kedutaan besarnya, karena hal ini menyebabkn terbebasnya ia dari hukum dan keadilan di negara asalnya. Meskipun demikian, seorang kepada pemerintah setempat, bila tidak ada perjanjian antara kedua negara yang mengharuskannya untuk menyerahkan pencari suaka tersebut (ekstradisi).
Ada perbedaan prinsip dalam pemberian suaka ini. Dalam suaka teritorial, kekuasaan memberikan suaka merupakan hak dan atribut kedaulatan negara yang besangkutan sedangkan dalam suaka ekstrateritorial, kekuasaan memberikan suaka mengesampingkan kedaulatan teritorial negara. Artinya, seorang duta besar boleh memberikan perlindungan di gedung kedutaan besarnya kepda pemohon suaka, tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kepala negaranya. Dalam hal ini ia berkuasa penuh menentukan layak tidaknya seseorang diberikan perlindungan. 
Di samping dua suaka di atas, masih ada lagi satu bentuk suaka politik, yakni suaka netral (netral asylum) dalam suaka bentuk ini, pemohon suaka tidak memasuki kedutaan asing atau lari ke suatu negara tetapi ia memilih tempat perlindungan ke gedung lembaga-lembaga internasional, seperti perwakilan PBB di Jakarta atau gedung Sekretariat ASEAN. Ia meminta suaka kepada pejabat lembaga-lembaga tersebut. 
Konsep suaka politik dalam hukum intenasional meliputi unsur pemberian naungan bersifat lebih dari pelarian sementara dan unsur-unsur pemberian perlindungan secara aktif oleh pembesar-pembesar negara yang memberi suaka. Orang yang mendapat suaka politik secara prinsip tidak dapat dikembalikan ke negara lain, kecuali negara yang meminta pemulangannya (ekstradisi) tersebut mengemukakan alasan-alasan logis agar peminta suaka diserahkan kembali. Pengembalian pemohon ini juga dapat dilakukan apabila sebelumnya antara negara yang melindungi dan negara tempat pelariannya memiliki perjanjian ekstradisi.
Sering terjadi dalam hubungan internasional, negara asal pelarian politik meminta kepada negara yang memberi suaka supaya pelarian tersebut diserahkan (diekstradisi) kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini, pelarian tersebut tidak dapat dikembalikan ke negara asal tersebut, kecuali ada perjanjian sebelumnya antara kedua negara tentang ekstradisi (dalam konteks hubungan bilateral)
Untuk menyerahkan kembali ke negara asal orang yang meminta perlindungan harus dipenuhi empat syarat. Pertama, kejahatan yang dilakukannya bersifat subversif dan sangat membahayakan negara. Kedua, baik negara asal maupun negara pemberi suaka sama-sama memandang bahwa kejahatan yang dilakukan peminta suaka harus dihukum dengan ancaman hukuman. Kalau negara pemberi suaka tidak memandang kejahatannya sebagai tindak pidana, maka ia tidak dapat dikembalikan ke negara asalnya. Ketiga, pelaku yang meminta suaka adalah orang yang memang dapat diserahkan oleh negara pelindung. Keempat, sebelum diserahkan, harus ada jaminan dari negara yang meminta ekstradisi bahwa pelaku akan diproses dan dihukum sesuai dengan isi tuntutan yang termaktub dalam alasan ekstradisi. Hal ini dimaksudkan agar penyerahan peminta suaka ke negara asalnya benar-benar memenuhi rasa keadilan dan hak asasinya, sehingga ia tidak dirugikan dan rasa keadilan
C. PRAKTIK NEGARA-NEGARA TERHADAP SUAKA POLITIK
Hukum internasional tidak mengenal hak secara umum dari Kepala Perwakilan asing untuk memberikan suaka di dalam gedung perwakilannya, karena jelas bahwa tindakan semacam itu dapat menghalangi perundang-undangan setempat dengan berbuat sekehendak hatinya dan akan melibatkan suatu pelanggaran kedaulatan negara tempat perwakilan asing tersebut berada (Suryokusumo)
Hukum internasional modern pada umumnya tidak mengakui hak dari kepala perwakilan untuk memberikan suaka dalam gedung kedutaan. Pemberian tersebut agaknya dilarang oleh hukum internasional, sebab akibatnya dapat membebaskan pelarian dari pelaksanaan hukum dan keadilan oleh negara territorial.
Tiadanya hak umum untuk memberikan suaka diplomatik ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam asylum case, yang memberlakukan apa yang dianggap hukum internasional regional dari negara-negara Amerika Latin mengenai suaka demikian.
Dalam keadaan luar biasa, suaka dapat diberikan di dalam gedung kedutaan (legation premises), yakni :
1. Seabagai tindakan yang bersifat sementara bagi individu yang secara fisik berada dalam bahaya amukan massa, atau pelarian itu berada dalam bahaya karena terjadinya perubahan politik secara mendadak, maka agaknya yang menjadi alasan pembenar adalah bahwa dengan pemberian suaka, ancaman yang sifatnya mendesak dapat diredam untuk sementara.
2. Suaka diplomatik diperbolehkan bilamana terdapat kebiasaan setempat yang bersifat mengikat, yang sudah lama diakui.
3. Karena adanya suatu perjanjian khusus (yang biasanya memperkenankan hak pemberian suaka bagi pelaku kejahatan politik) antara negara territorial (negara penerima) dan negara pengirim.
Masalah pemberian suaka dalam gedung perwakilan diplomatik timbul karena berbagai keadaan. Ada kemungkinan pada waktu pemberontakan atau perang saudara ataupun kudeta, para pemimpin dari golongan yang kalah atau anggota-anggota pemerintahan yang telah dipecat, dapat mencari perlindungan dalam gedung perwakilan diplomatik yang terletak di ibu kota. Juga bisa terjadi bahwa seseorang dapat mencari atau meminta perlindungan  setelah melakukan pembunuhan yang bersifat politik (political assassination) atau bahkan kejahatan biasa (common crime)
Praktik menunjukkan, bahwa tempat perlindungan sedemikian dalam gedung perwakilan hanya dapat diminta dalam keadaan mendesak, dan masalah yang sering timbul dan karenanya harus dipikirkan adalah apakah orang-orang tersebut dapat diberi suaka di dalam gedung-gedung tersebut ? dan berapa lama dapat diberikan ?
Dasar pelaksanaan hak suaka diplomatik adalah bahwa gedung perwakilan menikmati exterritoliality dan merupakan bagian dari wilayah negara asal wakil diplomatik itu. Terdapat banyak contoh, bahwa suaka diplomatik sering diberikan oleh negara dimana gedung perwakilannya dijadikan tempat meminta suaka. Praktik demikian itu berlangsung sampai abad ke 19. Namun dalam waktu akhir-akhir ini, praktik negara-negara tidak lagi meneruskan hak suaka, dan banyak negara termasuk Amerika Serikat secara tegas menolak hak suaka dalam hukum internasional.


BAB III
KASUS-KASUS MENGENAI TEMPAT PERLINDUNGAN SEMENTARA
Praktik negara-negara tampaknya memperlihatkan bahwa meskipun hak perlindungan diplomatik tidak diakui dalam hukum, namun dibuat suatu perbedaan antara suaka dan kasus-kasus mengenai tempat perlindungan sementara (cases of temporary refuge) dalam keadaan politik yang gawat. Dalam keadaan ini suaka sering diberikan atau diperkenankan. Dalam banyak kasus, suaka di dalam gedung Kedutaan Besar diperkenankan dan disetujui secara diam-diam oleh pejabat-pejabat setempat. Misalnya selama revolusi Spanyol pada tahun 1936, banyak pelarian termasuk warga negara Spanyol mencari perlindungan pada berbagai misi diplomatik di Madrid dan dalam beberapa hal tempat perlindungan itu diberikan. Kemudian Spanyol merubah sikapnya mengenai suaka diplomatik ini. Menteri Luar Negeri Spanyol menyampaikan kepada para anggota korps diplomatik, bahwa Spanyol menghormati hak suaka atasdasar semangat toleransi dan bukan karena diwajibkan untuk berbuat demikian dan dia mengancam untuk menghentikan praktik pemerintah dalam hal ini. Persoalan ini kemudian menimbulkan protes oleh berbagai misi diplomatik.
Amerika serikat yang secara konsisten mengambil sikap untuk tidak mengakuihak suaka, mengizinkan para pejabat diplomatiknya memberikan perlindungan sementara apabila memang diperlukan untuk melindungi jiwa orang yang tidak bersalah. Contoh-contoh bahwa Amerika Serikat memperkenankan diberikannya suaka diplomatik, memberikan petunjuk yang bermanfaat mengenai hal-hal apa yang patut diberikan tempat perlindungan sementara.
Dari kejadian-kejadian yang dilaporkan, bahwa para pejabat diplomatik Amerika Serikat diperkenankan memberikan perlindungan kepada para peminta suaka, maka tampaklah bahwa yang menjadi pertimbangan pihak Departemen Luar Negeri adalah adanya keperluan (neccessity) untuk menyelamatkan kehidupan orang yang tidak berdosa, alasan kemanusiaan demi membantu orang yang jelas-jelas terancam jiwanya, adanya ketentuan untuk melindungi para pelarian politik yang berada dalam bahaya, atas dasar kemanusiaan atau adanya bahaya amukan massa dan tindakan permusuhan.
Berdasarkan praktik yang dikemukakan diatas, maka tampak bahwa hak suaka dalam gedung perwakilan diplomatik tidak ada dalam hukum internasional, tetapi pada waktu yang bersamaan Kepala Perwakilan Diplomatik tidak berkewajiban mencegah seorang pelarian memasuki dan berlindung di dalam gedung perwakilan. Tempat perlindungan sementara dapat diberikan kepada pelarian-pelarian (refugees) jika mereka berada dalam bahaya atau untuk menyelamatkan mereka dari amukan massa atau permusuhan. Seorang yang telah mendapat perlindungan harus diserahkan kepada para pejabat setempat jika Ia diminta berdasarkan tujuan kejahatan atau adanya surat perintah penangkapan yang telah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Kasus kelima pemuda Timor Timur yang mencari suaka di gedung perwakilan asing di jakarta beberapa waktu yang lalu sebagaimana dikemukakan diatas, nampaknya terdapat perbedaan penafsiran terhadap status pencari suaka. Disatu pihak Indonesia menganggap bahwa kelima pemuda Timor Timur tersebut sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang melakukan tindak kriminal biasa, sehingga mestinya kantor perwakilan asing tidak perlu mengabulkan permintaan suaka kelima pemuda Timor Timur tersebut, apalagi jika pemerintah Indonesia telah meminta secara resmi penyerahan terhadap kelima pemuda Timor Timur kepada perwakilan asing itu atas dasar tuduhan melakukan tindak pidana biasa. Tetapi dilain pihak, kantor perwakilan asing di jakarta tersebut mendapat pengakuan dari kelima pemuda Timor Timur bahwa mereka adalah anggota clendestein (gerakan bawah tanah) yang melakukan kegiatan politik melawan pemerintah RI, yang keselamatannya terancam. Jika pengakuan kelima pemuda Timor Timur benar, maka jelas kantor Kedutaan Besar atau kantor perwakilan asing tersebut tidak bisa mencegah permintaan suaka kelima pemuda Timor Timur tersebut. Dengan demikian, kasus semacam ini sebenarnya jika diselesaikan secara yuridis memang agak sulit mendapatkan rujukan formalnya, sebab sampaio saat ini belum ada ketentuan internasional yang universal dan seragam mengenai bisa tidaknya suaka diberikan di wilayah-wilayah perwakilan diplomatik. Barangkali agak lebih mudah jika penyelesaian kasus semacam itu melalui penyelesaian politis. Selain itu, Indonesia belum pernah mempraktikkan pemberian suaka diplomatik kepada mereka yang terlibat dal;am kejahatan politik maupun untuk menyelematkan kehidupan mereka yang tidak berdsosa, sebab sejauh ini penulis belum pernah menemukan kasus-kasus dimana misi diplomatik Indonesia di luar negeri memberikan suaka di dalam gedung perwakilannya, baik kepada mereka yang tersangkut kejahatan politik, kejahatan biasa, maupun dalam usaha menyelematkan orang-orang yang tidak berdosa dari amukan massa.
Sedikitnya tujuh warga Papua dibawah pimpinan mantan Tapol/Napol, Sem Yaru menggelar aksi demo damai di depan pagar kantor konsulat PNG, Jumat (30/5). Kedatangan mereka untuk meminta suaka politik ke RRC. Aksi ini berlangsung sejak pukul 09.00 Wit hingga 11.00 Wit dengan membawa spanduk bertuliskan ‘‘ Rakyat Papua Miskin 200 Orang Minta Suaka ke Negara Cina, RRC. ’’ Aksi ini sebagai bentuk rasa kecewa terhadap pemerintah Papua, dimana warga Papua yang tinggal di kota Jayapura kurang diperhatikan. Padahal, tiap tahun dana otsus triliun dikucurkan pemerintah pusat ke Papua.  Begitu ketujuh warga Papua tiba didepan kantor konsulat PNG langsung melakukan orasi yang ditunjukan kepada pimpinan konsulat PNG agar keinginan mereka bisa dipenuhi. Sayangnya, aksi mereka tersebut tidak mendapat perhatian dari konsulat Papua New Guine. Mereka sendiri tidak berhasil menemui pihak konsulat. Tak pelak kekecewaan nampak jelas di wajah mereka. 

BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, maka dapatlah kiranya ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.  Bahwa suaka (asylum) adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di wilayahnya atau disuatu tempat lain yang berada dibawah pengawasan dari organ-organ di negara tersebut kepada seseorang yang datang meminta perlindungan. Suaka dapat dibedakan atas suaka territorial (territorial asylum) dan suaka extra territorial (extra territorial asylum), dalam hal ini suaka diplomatik (diplomatic asylum).
2. Dalam hukum internasional suaka territorial pada prinsipnya tidak menimbulkan permasalahan, karena hak suatu negara untuk memberikan perlindungan dalam batas-batas wilayahnya merupakan konsekuensi dari kedaulatandan yurisdiksi territorial, dalam hal ini suaka diplomatic . bahwa praktik suaka diplomatik tidak mempunyai dasar dalam hukum internasional pada umumnya, hukum diplomatik (Vienna Convention on diplomatic relation) pada khususnya. Walaupun gedung kedutaan atau perwakilan diplomatik memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima dan prinsip inviolabilitet berlaku terhadap tempat tersebut, namun suaka diplomatik tidak diakui sebagai hak Kepala Perwakilan untuk memberikannya kepada para pelaku kejahatan, terutama kejahatan politik. 
3. Hukum internasional tidak ada kewajiban bagi kepala perwakilan untuk menolak orang-orang yang ingin mendapat tempat perlindungan (refuge) dalam Kedutaan Besar. Kepala Perwakilan tidak diwajibkan untuk menolak mereka yang mau berlindung di dalam tempat perwakilan diplomatik. Apa yang harus dilakukannya ialah menyerahkan orang itu kepada pejabat yang berwenang bilamana  yang bersangkutan dituduh karena kejahatan kriminal dan perintah penangkapan telah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara penerima. 
4. Kepala Perwakilan Diplomatik tidak mempunyai hak untuk memberikan suaka diplomatik, baik kepada pelaku kejahatan politik (political offender, political refuge) maupun kepada pelaku kejahatan biasa atau buronan polisi, namun dilain pihak, Kepala Perwakilan tidak dibebani kewajiban untuk menolak mereka yang mau mencari tempat perlindungan atau memasuki tempat perwakilan untuk berlindung.


DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie Jimly, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia,  Materi yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
 Iman Prihandono, Pemberian Suaka Oleh Negara : Kasus Pemberian Suaka Oleh Pemerintah Australia Kepada 42 WNI Asal Papua Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003.
Kenterian Pertahanan RI.2010, Malaysia Minta Pengertian UNHCR Soal Pengungsi Aceh
Raharjo, Suryawan, 2011, Modul Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Hukum Universiatas Janabadra Yogyakarta. 
Suryokusumo, Sumaryo, 1995, Hukum Diplomatik Teori Dan KasusBandung, Alumni. 
Widagdo Setyo, Suaka Diplomatik Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Arena Hukum Nomor 6 Tahun 2, November 1998. 
-------------------, Ensiklopedia bebas, 2011, Wikipedia bahasa Indonesia
UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional: Kekuasaan Hubungan Luar Negeri Presiden (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT)