(Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan
Withdrawing or Withholding Life-Support Treatment)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah membawa dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara lain : transplantasi organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi, abortus provokatus (aborsi) dan euthanasia. Selain menyangkut bidang edokteran sendiri, perkembangan dan kemajuan tersebut justru harus lebih banyak berhadapan dengan hak asasi manusia, etika dan hukum.(Achadiat, 2007).
Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan mutu individual, maka peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus dilakukan, agar tidak tertinggal dengan rotasi zaman. Begitu pula dalam bidang pelayanan keperawatan, peningkatan pelayanan haruslah dilandasi dengan nilai-nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan yang profesional harus dilandasi oleh nilai-nilai intelektual, komitmen moral terhadap diri sendiri, tanggungjawab terhadap masyarakat, otonomi, serta pengendalian. Oleh karena itu tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan kontribusi yang optimal sesuai dengan pengetahuan, teknologi serta estetika perawatan pasien. (Mendri, 2009)
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit genetika dan penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Pasien cenderung untuk memilih hidup singkat namun bahagia daripada hidup yang panjang tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas pasien yang berada dalam stadium lanjut ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang realistis hanyalah penghalang nyeri dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang efektif dapat meningkatkan kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010) Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasidengan baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik danterintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang mengembangkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dari masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam hidup, pada berbagai kelainan bersifat kronis atau pada penyakit terminal. Perawatan paliatif berfokus pada aspek yang multidimensi termasuk psikologis, social, spiritual, fisik, interpersonal dan komponen perawatan. Menurut Tejawinata (2006), salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan rasa syukur. Begitu pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak harusdilakukan dalam perawatan paliatif. Beliau juga menyatakan, pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahirandengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat perawatan paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari dan penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini tampaknya memiliki sedikit hubungannya dengan perawatan akut disampaikandalam pengaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meninggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati dirumah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat. Mereka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan penyakit akut ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol gejala, terutama rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw adalah menyangkut “kehidupan dan kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan minum, kadang-kadang dalam keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus diberikan nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara umum seorang rata-rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari tanpa makan. Seorang yang gemuk malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena sel-sel lemak secara perlahan-perlahan akan hancur dan memberikan daya-tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih cepat. Dalam waktu 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan tenaganya.Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dengan memberikan makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan pernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema apakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk menolong jiwa pasien, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh "merelakan pasien itu meninggal" (allowing the patient to die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak mungkin lagi untuk menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan diperpanjang dan kadang-kadang pasien sudah tidak tahan lagi penderitaannya. Memang persoalannya bersifat kasuistis, sehingga suatu pedoman yang pasti dan baku tak mungkin diberikan. Tergantung kepada hati- nurani sang dokter dan kepercayaan dan agama yang dianutriya. Juga tergantung kepada hukum dari negara yang berlaku. ( Guwandi, 2000). Dua pengacara, David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah memberikan suatu contoh kasus dari Rhode Island yang menghebohkan. Kasusnya sebagai berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serikat, di Rhode Island, telah menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adalah seorang pasien Rhode Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan vegetatif (persistent vegetative state). Mengingat Gray tidak mempunyai harapan lagi untuk siuman kembali, maka suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial dihentikan saja agar Gray direlakan untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan mengatakan hal ini tidak bisa mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanasia. Tindakan itu tidak selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana atau perdata karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pengadilan. Pengadilan federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan hidrasi kepada Gray dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya, pengadilan berpendapat bahwa ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak pemberian bantuan kehidupan, termasuk makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan hak ini adalah hak yang paling utama di atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray telah merupakan suatu preseden penting di Rhode Island, tetapi ini masih belum memecahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi para dokter dalam memutuskan : apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan. ( Guwandi, 2000). Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit. Di satu pihak dokter harus menghormati hak-hak pasien (termasuk hak untuk mati? ), namun dilain pihak faktor-faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidk, pada masa sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia atau mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di merika Serikat setuju dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperoleh kesempatan. (Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyataka nsehat oleh dokter. Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang sama pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian dan telaah dari sudut medis, etika moral maupun hukum oleh masing-masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini disebut sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia. Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-semu. Salah satu bentuk Pseudo-Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007) Menghentikan atau tidak memulai memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or Withholding Life-Support Treatment). Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral. Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adalah, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati, individual right; dalam keadaan khusus membunuh orang legal; dilihat dari Pancasila: Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manfaat, Pengobatan paliatif mulai berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Memberikan rasa aman kepada para tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, walau kehidupan semu tunggu mu’jizat; Sleepery Slope. (Sutarno, 2012)
Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dalam perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau meneruskan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat diharapkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek hidup pasien, melainkan untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensinya. Dapat pula dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya penganiayaan terhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan diancam pidana ....... )
B. Permasalahan
Berdasar Pemaparan contoh kasus tersebut diatas dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan paliatif dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tim perawatan paliatif kadang sulit karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang baik dari tim perawatan paliatif. ” Bagaimana Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif (Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan Withdrawing or Withholding Life-support Treatment)”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai"perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap pengobatan kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah psikologis, sangat penting.Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas terbaik hidup bagi pasien dan keluarga mereka.
Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. (wikipedia.org)
2. Kualitas hidup pasien
Adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper(1999), adalah : gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja. (Tejawinata, 2006)
B. Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis, perawatan, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar perawatan paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
Prinsip dasar perawatan paliatif : (Rasjidi, 2010)
1. Sikap peduli terhadap pasien
Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderitaan pasien, bukan hanya masalah kesehatan.
Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik, kepandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi perawatan.
2. Menganggap pasien sebagai seorang individu
Setiap pasien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-gejala yang sama, namun tidak ada satu pasienpun yang sama persis dengan pasien lainnya. Keunikan inilah yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan paliatif untuk tiap individu.
3. Pertimbangan kebudayaan
Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi penderitaan pasien. Perbedaan-perbedaan ini harus ciperhatikan dalam perencanaan perawatan.
4. Persetujuan
Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau diakhiri. Mayoritas pasien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun dokter cenderung untuk meremehkan hal ini. Pasien yang telah diberi informasi memadai clan setuju dengan perawatan yang akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha perawatan.
5. Memilih tempat dilakukannya perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien can keluarganya harus ikut serta dalam diskusi ini. Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawatan di rumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga adalah hal yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
7. Aspek klinis : perawatan yang sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit yang diderita pasien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesuai, baik itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah penderitaan pasien. Pemberian perawatan yang berlebihan berisiko untuk memberikan harapan palsu kepada pasien. Demikian jugs perawatan yang dibawah standard akan mengakibatkan kondisi pasien memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawatan yang diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun itu sia-sia adalah tidak etis.
8. Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang profesi
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik clan integratif, sehingga dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien serta koordinasi yang baik dari masing-masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil Yang maksimal kepada pasien dan keluarga.
9. Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan medis yang konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang tidak terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu baik pasien maupun keluarga.
10. Perawatan yang berkelanjutan
Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan dasar tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kontinuitas perawatan.
11. Mencegah terjadinya kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadinya kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyakit. Pasien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-masalah yang sering terjadi, dan membentuk rencana untuk meminimalisasi stres fisik dan emosional.
12. Bantuan kepada sang perawat
Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan emosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perhatian khusus kepada mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga tergantung dari sang pemberi perawatan itu sendiri.
13. Pemeriksaan ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien dengan penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
C. Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif
( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiriapabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yangcukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan keluargaterdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnyamelakukannya atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau bolehatau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bolehatau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi timperawatan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapatdiberikan pada kesempatan pertama.
2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif.
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat olehpasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasukiatau memulai perawatan paliatif.Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam bentuk informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalamkeadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaantertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapanpengadilan untuk pengesahannya.
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
3. Perawatan pasien paliatif di ICU.
Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.
4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif.
Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenagamedis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medisyang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.
D. Medikolegal Euthanasia
1. Sejarah Eutanasia
Rasjidi, (2010) Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada sumpah Hippokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
2. Pseudo-Euthanasia
Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-euthanasia ialah :
a. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak.
b. Pasien menolak perawtan atau bantuan medik terhadap dirinya.
c. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).
d. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya.
3. Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya
a. Eutanasia pasif : Menghentikan/mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia menyadari. Eutanasia ini dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan pasien. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak memberikan bantuan medis untuk memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan obat-obat baik antibioti, vasopressor, vasoaktif, atau analgetik. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.
b. Eutanasia aktif Menurut Sutarno (2012) Eutanasia aktif tidak langsung : Tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien pelaku menyadari.Eutanasia aktif langsung (mercy killing) : Tindakan medis secara terarah yg akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien, pelaku menyadari.
4. Penerapan Hukum Positif Pada Kasus Eutanasia di Indonesia
Sutarno (2012) Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun. Belum ada Peraturan perudangan yang khusus, dilihat dari sisi hukum: pembunuhan / pembiaran / kelalaian atau malpraktik medik ? Yang berkaitan adalah : a) Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ?; b) Asas legalitas, penghilangan nyawa; c) Kesalahan ( dolus, culpa); d) Delicta Commissionis, Delicta Omissionis, Delicta Commissionis per Omissionem Commissa.
Berkaitan dengan Tindakan Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya. ( Withdrawing or Withholding Life-support Treatment) bagaimanapun juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal yang erat kaitannya dengan kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan paliatif. Sesuatu yang berada diluar batas ilmu kedokteran sudah tidak merupakan wewenang dokter dalam tim perawatan untuk menganinya karena bukan merupakan kompetensinya. Bilamana tim perawatan paliatif bekerja diluar kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasien, maka dapat dikatakan telah melakukan penganiayaan terhadap pasiennya. Yang terpenting kriteria medik harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua berdasarkan pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dan tim perawatan. (Achadiat, 2007)
E. Prinsip-Prinsip Etik
1. Autonomy (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat tim perawatan paliatif menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Non maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan bahwa kita berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain. Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium non nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan. (Achadiat, 2007)
3. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya
4. Beneficienec (berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
5. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
6. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang Pasien harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan Pasien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh Pasien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang Pasien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang Pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang terjaga adalah informasi yang diberikan oleh tim perawatan kepada Pasien dengan kepercayaan dan keyakinan informasi tersebut tidak akan bocor. ( Perry & Potter, 1997 )
7. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Tim Perawatan seringkali mengandalkan pertimbangan mereka denagn menggunakan (Teori Moral Mandle, 1994, dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu Teori Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang untuk mempertimbangkan kebenaran dan kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau kewajiban tersebut. Teori Teleologis : umumnya mempertimbangkan konsekwensi suatu tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu yang baik dengan melihat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran konsekwensi apa yang akan dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.
Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan), memerlukan adanya kesdaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan mengutamakan kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan agar menghargai setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi dalam tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab. (Komalawati, 1989).
F. Tinjauan menurut Ajaran Agama (Rasjidi, 2010)
Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
1. Dalam Ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia.Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihsayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Eutanasia Positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian sisakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen(alat).Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia Negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi iahanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alamsemesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalamhal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
2. Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelasmungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itutidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae,nomor 66)
3. Dalam Ajaran Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,moksa dan ahimsa.Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali kedunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
4. Dalam Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankahperalatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
5. Dalam Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
6. Dalam Ajaran Gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
7. Dalam Ajaran Agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhanyang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
BAB III
SIMPULAN
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lain-fisik, psikososial, dan spiritual.Tampaknya terasa suatu kebutuhan yang sangat mendesak akan suatu pedoman yang mengatur hak-hak pasien yang kompeten dan tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan.
Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia yang belum ada tanda-tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman tersebut harus memuat garis-garis besar untuk melindungi hak-hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan meninggal secara alami dan memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota keluarga dan wali menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa khawatir akan tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dilakukan di belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, budayadan melalui kajian keagamaa kita sendiri yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tertentu.
Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis dan moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral telah banyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-nilai moral di dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat penting dan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
Keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu etika, moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan. Kemajuan ilmu teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi sejak dini dengan rumusan-rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan euthanasia.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, ECG, Jakarta
Guwandi, 2000, Bioethics & Biolaw, Faultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Komalawati. D. Veronica, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Harapan, Jakarta
Kozier, 2000, Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia. Addison Wesley.
Mendri. Ni Ketut, 2009, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawat Dengan Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis Tidak Dipublikasikan. Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
Perry & Potter, 1997, Fundamental Keperawaran, Buku Ajar Konsep, Proses dan Praktik, ( Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk) Ed. 4, EGC, Jakarta.
Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV Sagung Seto, Jakarta
Sutarno, Eutanasia Yang Tidak Disadari Di Rumah Sakit, disampaikan dalam Kongres Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia di Yogyakarta 10 Juni 2012
Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap Manusia, disampiakan pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober 2008, Surabaya. (Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-2006)
WHO. 2009. WHO Definition of Palliative Care. http://www.WHO.Int/ can cerlpallia tiveldefinitionlenl. Diakses tanggal 4 Mei 2011.
Sutrisno, Eutanasia, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item
Http\\www.wikipedia.org/w iki/Palliative_care
Http://www.hukumonline.com/klinik/.../pengaturan-euthanasia-di-indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Keputusan Menkes Nomor : 812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar